Tuesday, January 10, 2006

Kearifan Masyarakat Lokal



Ini tentang cerita lama, kisah tragedi kenaikan harga BBM 1 Oktober tahun lalu.

Tit.tit… SMS masuk. Dari sang isteri.

“Pemerintah keterlaluan” , begitu kalimat pertama yang terbaca di HP saya. Tumben isteri saya ngomongin pemerintah. Pedas lagi. Belakangan saya baru tahu kalau “umpatan” tersebut sekadar menjiplak headline koran tempat dia bekerja.

Kalimat berikutnya adalah deretan harga BBM baru dengan perubahan yang fantastis (atau edan ?).

Saat itu sudah agak sore. Jalanan sempit, berbatu dan berjurang. Namun saya tetap bisa tiduran di mobil dengan nyaman. Maklum, kendaraan yang saya naiki –kalau dituker dengan rumah kreditan saya – mungkin bakal dapat rumah lima biji. Sayang itu bukan mobil saya. Milik Sucofindo.

Menjelang magrib, mobil kami masuk wilayah Nunukan. Kaltim. Target pertama mengisi tangki mobil sepenuh-penuhnya. Kami juga membawa jerigen untuk wadah minyak tanah. Rencananya kami akan membuat tenda di perbatasan Kaltim-Malysia.

Nyatanya di Nunukan tidak mudah mencari BBM. Depot di pinggir pelabuhan sudah tutup. Depot sebelahnya sama juga. Muter sana-sini akhirnya dapat juga di pinggiran kota.

“Bensin masih Rp. 4.500”, kata sopir. Saya pikir kalimat dia salah. Nyatanya tidak. Di Nunukan, harga lama bensin memang segitu. Jangan tanyakan kok bisa. Salah seorang anggota rombongan terkikik. “Berarti dia belum tau kalau bensin udah naik..!” Kami pun bermaksud memborong semua, termasuk minyak tanah.

Tanpa diduga, si penjual –seorang ibu-ibu berusia 40an tahun- menggeleng santun. “Kasihan para tetangga, pak. Kalau Bapak-bapak menghabiskan semua minyak tanah dan bensin, saudara-saudara saya tidak bisa memasak. Mereka juga tidak bisa melaut. Insyaalloh, bensin yang tadi cukup sampai ke tempat tujuan.”

Kami terdiam. Betapa rakusnya kami orang-orang kota.

Belakangan kami juga juga sadar bahwa ternyata si ibu pun tahu kalau harga bensin sudah naik. “Kami membeli bensin ini tiga hari lalu, Pak. Itu juga dengan harga lama. Jadi kami pun menjualnya dengan harga lama, sampai stok habis. Para nelayan di sini saudara-saudara kami juga. Kasihan kalau mereka harus membayar mahal.” Padahal hari itu sudah tanggal 2 Oktober, saat-saat dimana di belahan lain negeri ini banyak penimbun bensin menangguk untung luar biasa.

Ah, ajari kami bersikap arif, ibu.

Kearifan Prajurit



Kami tidak jadi memasang tenda. Danton menawari kami untuk menginap di barak. Danton (komandan peleton) yang satu ini masih muda. Barusan naik pangkat. Pantas saja sewaktu kami singgah, sekitar jam 10 pagi, matanya masih merah. “kami barusan bangun. Semalaman begadang. Beberapa anggota naik pangkat.” Tuturnya merendah. Padahal satu diantara yang naik pangkat adalah dia juga.

Barak yang mereka tawarkan kepada kami terletak di belakang Pos Terpadu Indonesia-Malaysia Simanggaris, sekitar 700 meter dari garis batas kedua negara. Di sekitar lokasi inilah tim kami datang untuk mencari lokasi dan berencana membuat disain tata ruang pos lintas batas darat plus fasiltas pendukungnya.

Tadinya kami kira kami harus membuat tenda di tengah hutan, nyatanya ada danton yang baik. “Tapi mohon maaf, tilamnya banyak kutunya”, kata danton. Saya pikir tilam adalah tikar, nyatanya bukan. Tilam yang dia maksud adalah kasur busa tebal. Tampaknya kualitas terbagus, dan tentu saja masih baru. Dan nyatanya tidak banyak kutunya.

Kami pun makan bareng. Menunya sederhana. Saya maklum. Bukankah seperti itulah gambaran yang dicitrakan media tentang kondisi prajurit ? Surprise-nya, saya diminta untuk mencicipi nasi kaleng. “Hati-hati mbukanya, Mas. Tangan bisa robek.” Nasehat salah satu prajurit saat melihat saya kikuk membuka kaleng nasi. Enak juga. Dalam kaleng sudah ada nasi plus daging berbumbu. Tidak perlu dimasak, cukup dipanasi saja. Konon ada juga yang kombinasi nasi dengan sayur, ataupun nasi-ikan, tapi saya tidak sempat mencoba, karena tidak ditawari lagi.

Saya hanya menginap semalam, esoknya saya sudah cabut ke Jakarta. Beberapa teman angota tim surveyor saya tinggal di barak, mereka harus melakukan pengukuran topografi selama seminggu.

Belakangan saya baru sadar kalau danton lebih baik dari yang saya kira. Asal tahu saja, kamar yang kami tempati sebenarnya hanya khusus untuk yang berpangkat tinggi. Kamar danton saja tidak sebagus itu. Pantas lokasinya seperti bungalow dan hanya berisi dua bed.

Nasi kaleng berdaging pun seharusnya hanya disantap saat-saat khusus. Sehari-hari ya nasi plus sayur dan telur ataupun ikan asin.

Sehari di barak di ujung Kalimantan, memberi satu wajah baru tentang prajurit Indonesia, setidaknya bagi saya.