Wednesday, September 26, 2007

Taruh Saja Anakmu di Departemen Kehutanan



Seminggu mengajar GIS selain membawa peristiwa ikutan berupa pesta sekeluarga makan lasagna dan brusetta di Pizza Hut juga pengalaman baru buat saya, isteri saya dan ragil saya: Justin, anak ragil saya akhirnya kesampaian juga untuk "bersekolah", walau cuma empat hari. Tentu saja ini diluar skenario, semata-mata karena memang tidak ada yang bisa menemani dia selama seminggu kemarin.

Awalnya adalah karena ketiadaan pembantu selama dua bulan terakhir. Sehari-hari si Justin -ragil saya- ya di rumah main sama saya, karena mamanya musti kerja kantoran secara reguler, berangkat jam enam pagi, pulang jam tujuh malem. Tidak bakal ada masalah sepanjang saya tidak ada acara keluar rumah. Tapi jalan hidup tidak sesimpel itu. Tawaran mengajar ArcGIS yang muncul mendadak tak urung membuat kepala berdenyut-denuyut.

Jadi gimana dong...? Kalau cuman sehari sih, bisa saja isteri mengajukan cuti, atau minta ijin nggak masuk. Tapi ini seminggu penuh, dari senin hingga jumat. Sempat terpikir untuk cari pembantu dadakan, tapi males ah. Paling juga nggak ada yang mau karena sekarang hampir lebaran. Nitip ke tetangga? Gimana ya. Nggak mungkin juga karena nggak cuman sehari-dua hari.

Berhari-hari pusing, akhirnya istri saya sempat nge-blink ingat penitipan anak di kompleks Departemen kehutanan! Yap, kenapa nggak dicoba ya... Akhirnya survei pun dimulai. Awalnya telepon dulu dan tanya ini-itu. Lumayan tertarik tapi musti membuktikan sendiri. Alhasil isteri pun melakukan survei langsung ke lokasi. Kesan pertama langsung sreg. Rapi, bersih, lengkap, nyaman dan yang pasti ramah.
Singkat cerita, mulailah Justin berangkat pagi-pagi -jam enam- bareng mamanya ke penitipan anak bernama Taman Bina Balita "Sylva". Hari pertama tentu saja masih menangis dan tidak mau ditinggal. Siang hari pun sewaktu mamanya menengok, dia masih menangis lagi, jadi musti dikelonin sebentar di bed yang tersedia hingga tidur pulas.
Hari kedua tangisnya mulai berkurang. Pengasuhnya pun baik dan ramah, tapi lebih ramah lagi adalah ibu-ibu Dharma Wanita yang mengelola penitipan anak tersebut. Silih berganti, ibu-ibu Dharma Wanita menyempatkan turun dan ngobrol dengan anak-anak: makan siangnya suka nggak? nasinya terlalu keras nggak...?

Lama-lama Justin betah juga, apalagi kalau mulai rewel, si mbak pengasuh (Justin menyebutnya mbak kerudung) mengajak jalan-jalan di lingkungan Departemen Kehutanan yang asri, termasuk mengunjungi museum yang letaknya masih satu kompleks.
Tiga pengasuh yang tersedia lumayan cukup untuk menemani bayi dan anak-anak yang jumlahnya hanya delapan biji.

Anda tertarik? Coba saja tengok langsung. Letaknya di Gedung Manggala Wanabhakti Blok VII lantai 1 sebelah gedung MPR/DPR. Kalau mau telepon nomornya 021-5730220-5720188.
Syaratnya gampang kok. Asalkan anak kita berusia 3 bulan hingga 4 tahun, sehat, serta tidak mengalami kecacatan yang memerlukan penanganan khusus.
Bagaimana dengan biaya? Saya nggak komentar deh. Coba lihat daftar berikut:

a. Untuk karyawan Dephut (PNS)
bulanan 300ribu
Mingguan 100ribu
Harian 30ribu

b. Untuk karyawan BUMN di lingkngan Dehut
bulanan 400ribu
Mingguan 140ribu
Harian 40ribu

b. Untuk karyawan swasta/umum
bulanan 450ribu
Mingguan 170ribu
Harian 45ribu

Jangan khawatir soal makan siang, karena biaya sebesar itu sudah termasuk makan siang. Makin tertarik? Bookmark saja blog ini, siapa tahu anda membutuhkan, apalagi musim pembantu mudik tinggal sesaat lagi...!
original post by anang, yb

Sunday, September 23, 2007

Dimana Puskesmasku - Dimana Pasienku


Seminggu mengajar perangkat lunak ArcGIS di Depkes menambah satu lagi pengalaman bagi saya. Bagi saya, membagi ilmu justeru makin mempercepat kekayaan ilmu saya. Bayangkan, saya berkutat dengan perangkat lunak produksi ESRI sejak 1996 hingga sekarang.

Sebelas tahun? Yap! Dan... tak pernah ke lain hati. Selalu hanya seputar software produksi ESRI.
Ragam klien yang diajar selalu menantang dan merangsang saya untuk tidak mempermalukan diri di depan peserta pelatihan. Untunglah ada teknologi SMS, jadi setiap ada kebingungan, sebisa mungkin mencet SMS di bawah meja dan... nanya temen yang lebih ahli hehehe...
Banyak aplikasi GIS akhirnya terkumpul di otak saya karena beragamnya klien yang minta dilatih GIS. Mulai dari sektor kehutanan, Perusahaan air minum, energi angin, tambang timah, geologi, LSM lingkungan, Pemda Kabupaten, dan terakhir Departemen kesehatan.

Di tempat terakhir ini saya jadi sadar betapa membantunya andai seluruh fasilitas kesehatan sudah dipetakan. Seberapa susah ? Ah... nggak susah kok. Pakai saja GPS. Cukup datangi lokasi puskesmas dan klik. Tak sampai lma detik, posisi puskesmas sudah terekam. Anda tinggal mendownload di software GIS dan jadilah peta anda. Jalur yang anda lewati saat menuju puskesmas pun akan langsung terekam di GPS dan jadilah peta jaringan jalan menuju puskesmas.

Dan bila sebaran puskesmas sudah dipetakan, gabungkan saja dengan peta demografi. Anda bakal tahu berapa ribu penduduk musti dilayani oleh satu puskesmas, berapa ribu anak yang musti diurusin oleh satu dokter anak di puskesmas.
Dengan GPS dan GIS, anda pun mustinya dengan gampang memetakan lokasi pasien flu burung, atau pasien TBC, atau pasien ISPA. Melihat pola persebaran pasien, apakah mengikuti alur sungai atau sepanjang jalan ataukah membentuk lingkaran yang berpusat pada satu lokasi sarang penyakit.

Mustinya reaksi cepat bakal lebih mudah dilakukan bila GIS kesehatan bisa terwujud sampai ke daerah-daerah. Lebih-lebih teknologi citra satelit yang murah juga makin mudah diperoleh dan gampang diaplikasikan untuk membuat peta secara cepat.
So, moga-moga aplikasi GIS untuk kesehatan bakal lekas terwujud, ya.

original post by anang, yb

Friday, September 21, 2007

Mosok sih nggak mirip?






Si kakak nggak pernah mau dibilang mirip papa.
Nggaaak! Aku mirip mama!
Padahal dari kulitnya ketahuan kalau anak dan papanya sama-sama putih huahahaha..
Bentuk tulang wajah juga sama, bulat telur. Kalau si adik justeru mirip mama karena berkepala bulet.
Tapi memang sudah nasib saya, tidak ada yang mau diserupakan dengan saya... termasuk isteri saya!


original post by anang, yb

Friday, September 14, 2007

Roti berdebu itu telah tersimpan selama 25 tahun (bagian kedua)


gambar:http://www.filebuzz.com

Kenapa bagian kedua kisahku perlu tiga minggu untuk nongol? Haha... Kamu salah. Minggu lalu bagian kedua sudah nongol. Tapi cuma dua jam setengah. Seterusnya aku cabut lagi. Jujur saja, aku terlalu konyol. Dan naif. Syukurlah masih ada sepotong akal sehat bergelayut di batok kepalaku yang keras. Lagipula percuma saja aku mengumbar caci dan cela seperti isi postingku yang kedua itu. Tidak bakal bisa mengembalikan karakter suamiku yang smart dan cool seperti dulu saat kami masih berduet bernyanyi. Suami? ah, kadang geli dan risih saat lidahku dilewati kata itu!

***

Suamiku adalah sandunganku. Suamiku adalah kerak di bak mandiku. Suamiku adalah aspal lengket di sol sepatuku.
Suamiku adalah kaos kaki polka dot di balik lingerie-ku. Seseorang yang tidak paham cara berjalan seiring. Saat kusarankan untuk meninggalkan bisnis sablonnya, dia berang. Ketika kukatakan bahwa sepatu sandal sebaiknya dia simpan saja, dia pun marah besar.
"Aku tidak peduli apa pun saran gila dari Greis manajermu!" teriaknya saat itu. "Terkutuklah segala omong-kosong tentang citra dan apa pun itu. Hidupku adalah aku. Dan aku mau hidup dengan cara hidupku sendiri."
Bila sudah demikian aku cuma bisa masuk kamar dan menghisap rokok mild-ku. Menghela nafas sekerasnya sambil memaki dalam hati: dasar lelaki!

***
Memang siapa yang menginginkan kami (tepatnya aku) bisa masuk dunia selebritis seperti sekarang? Bukankah dulu saat masih tertatih-tatih, pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, kehidupan senyaman ini adalah mimpi dia juga? Tapi kini ketika segalanya begitu gampang ditapaki dan dia hanya perlu sedikit menyesuaikan diri, mengapa justeru pemberontakan yang dia pamerkan? Cemburukah dia dengan pencapaianku? Ah, bila iya, berarti dia lebih stupid dari yang kukira.

***

Hari ini hari ulang-tahun perkawinan kami. Hari yang semestinya kami isi dengan kehangatan justeru dibuka dengan teriakan emosi suamiku. Semata-mata karena aku membatalkan kue ulang-tahun pesanannya yang kuyakini terlalu kecil dan norak. Greis pun menguatkan keyakinanku.

Ah sudahlah. Persetan dengan ulang tahun perkawinan. Kulangkahkan kakiku menelusuri lantai marmer dingin tanpa alas kaki. Satu per satu anak tangga mengantarku ke lantai atas. Piano besar mengkilap membisu di sisi balkon. Kutarik kursi kecil di samping piano dan kuletakkan tubuhku di atasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat lagu pertama yang bisa kumainkan dengan pianika saat masih kecil, "...burung pipit yang kecil, dikasihi Tuhan.." Aku biarkan bibirku sedikit mengembang melempar senyum kecil.

Ada nakas kecil di sisi kakiku, tempat aku meletakkan telepon dan guci kecil dari kristal. Hem, ada laci kecil di bawahnya yang membuatku penasaran. Kucoba menariknya pelan. tak terbuka. Pantas. Bahkan aku pun tak pernah tahu kalau nakas ini berlaci. Kutarik agak keras hingga guci di atasnya bergoyang. Buru-buru kupindahkan guci di atas piano.

Rasa penasaranku makin tak terbendung. Kutarik lagi dan lagi. Braak..! Laci itu meluncur di lantai pada tarikan keempat. Debu tipis melambung melampaui separuh kakiku. Ada benda di dalamnya! Debu kelabu membuatku tidak langsung tahu apa benda itu. Tiga usapan tanganku membuat benda itu jadi jelas terlihat.

Mataku serasa mau meloncat keluar. Jantungku berdegup begitu kencang, jauh lebih kencang dibandingkan saat rahimku diangkat 23 tahun lalu. Tidak mungkin! Aku tidak percaya dengan pandangan mataku yang sudah kubuka selebar-lebarnya.

Bagaimana mungkin kubiarkan benda ini tersimpan disini, berselimut debu, tak tersentuh selama 25 tahun?


Kakiku begitu lemas. Keringatku meluncur begitu deras. Dengan pelan-pelan kutelusupkan tangan kiriku di bawah benda itu seakan hendak menggendong bayi yang kutunggu selama 25 tahun. Kuangkat sepelan yang kubisa. Tangan kananku membelai seluruh permukaannya. Satu-satu air mata menetes di atas benda itu. Kuratakan air mataku hingga debu terusir darinya.

Kubaca tulisan indah di bagian tengah benda itu. Lekuk hurufnya terasa masih begitu lekat di ingatanku. Aku eja sekali lagi, "Roti Surgawi"
Ada gambar koki dengan topi tingginya dikelilingi 12 koki di kiri-kanannya. Sang koki tersenyum begitu menawan sambil mengangkat roti dan piala. Seolah dia ingin menyapa," makan dan minumlah..."

Ada tulisan kecil di bawah gambar sang koki. Deretan huruf itu berbunyi: Dibuat oleh perusahaan roti "Lima Roti Dua Ikan". Aku tersenyum kecil. Ibuku pernah bercerita mengapa perusahaan roti ini punya nama yang unik. Lucunya, suamiku pun mendapat dongeng serupa dari ibunya.

Roti ini sengaja kami beli sesaat sebelum kami menikah. Sudah menjadi tradisi kami secara turun-temurun untuk membawa roti istimewa ini di setiap upacara pemberkatan perkawinan. Saat terindah adalah ketika kedua tangan kami yang sudah bercincin bertumpu di atas roti ini untuk mengikat janji, hidup kekal dalam rekatan kasih Tuhan.

Roti di atas telapak tanganku masih begitu lembut, walau sudah kuabaikan selama seperempat abad dalam balutan debu. Begitu lembutnya, seakan dia berbisik saat kutempelkan di pipiku, "..datanglah kepadaku, kamu yang letih dan berbeban berat." Seakan ada kehangatan menjalar dari roti itu melalui pipiku. Bagai ada dua telapak tangan ibu tertangkup di kedua sisi pipiku.

Kutegakkan kepalaku dan kuraih telepon. "Maafkan aku, sayang... Selamat ulang tahun. Tuhan mengasihimu, juga aku..."

(ditulis secara khusus untuk mengingatkan: bulan ini adalah bulan kitab suci nasional )