Thursday, November 30, 2006

Kalahkan Smackdown dengan Speedy



"Inenet..inenet.."
Ini teriakan baru dari Justin, ragil saya yang baru beranjak dua tahun. Inenet alias internet versi lidah dia, jadi mainan baru di rumah. Sengaja modem saya letakkan di bawah agar lebih mudah dijangkau kedua anak saya. Fani (7 th) Sang kakak yang sekarang kelas 3 SD jadi makin sering nongkrong di depan komputer. Berdua dengan Justin, mereka getol berselancar, walau masih sebatas menyambangi game online atau sekadar mencari gambar barbie.
Kini, bila Justin mulai merangsek saya di kala lagi kerja, maka itulah alamat saya harus merelakan komputer. "Inenet ya Pa ?" itulah kalimat pembuka dari Justin. Selanjutnya dengan mata membulat dan tak berkedip dia akan berkata lagi, "Justin pinjem dulu ya, pa?"
Ya sudah. Yang tua menyingkir. Walau terkadang saya sedang utak-atik citra satelit buat menyelesaikan studi mangrove.
Setidaknya, sejak berlangganan speedy, Justin tak lagi ingat tontonan kegemarannya: "semekdon.., Pa.."

Uang Transport buat Speedy

Kadang saya malu bila membandingkan diri saya dengan penjual Pop Ice, penjual kue cubit, apalagi dengan pedagang kelontong. Mereka berani berinventasi, saya tidak!
Penjual Pop ice setidaknya akan merogoh koceknya untuk membeli blender, mebeli sekardus pop ice aneka rasa, sedotan, dan gelas-gelas plastik. Bisa jadi untuk menyiapkan semua itu, pedagang pop ice tidak cukup hanya dengan menguras tuntas tabungan. Sama halnya dengan penjual kue cubit. Hanya kenekadan plus semangat survival yang memaksanya untuk berinvestasi membuat gerobak, membeli tungku, dan tentunya penggorengan berbentuk bulet-bulet kecil.
Pedagang kelontong lebih hebat lagi. Selain harus punya stock, mereka mutlak harus membuat "kantor" dengan segala isinya.
Sedangkan saya ?
Ah, lima tahun berlalu sejak memutuskan kerja freelance, baru kali ini berani berlangganan internet. Itu juga karena tergoda rayuan speedy. Cukup dengan duaratus ribu rupiah per bulan bisa browsing hingga 1 GB, gratis modem lagi.
Sebetulnya, angka dua ratus ribu terbilang lebih irit daripada saya musti kelilingan nyari order. Di Jakarta, uang transport dua ratus ribu rupiah sebulan nyaris termasuk "belum bisa kemana-mana". Dengan internet, uang segitu mengantarkan saya ke mana pun, tak lagi sebatas Jakarta-Bogor-Bekasi.
anang, yb

Wednesday, November 08, 2006

Benua Atlantis itu (Ternyata) Indonesia

Oleh H. PRIYATNA ABDURRASYID

Source: Pikiran Rakyat Online

MUSIBAH alam beruntun dialami Indonesia. Mulai dari tsunami di Aceh
hingga yang mutakhir semburan lumpur panas di Jawa Timur. Hal itu
mengingatkan kita pada peristiwa serupa di wilayah yang dikenal sebagai Benua
Atlantis. Apakah ada hubungan antara Indonesia dan Atlantis?

Plato (427 - 347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi
berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa,
pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan
bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau
Atlantis.

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan
bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah
melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis,
The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato's
Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti
luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani,
yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem
terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang
diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di
Meksiko.

baca lanjutannya ...


Konteks Indonesia

Bukan kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960,
mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara Indonesia dengan
perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara. Fakta itu
kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk
penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara
Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam
puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua
yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang
akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu
sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era
Pleistocene). Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara
bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu,
maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air asal dari es yang
mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan gunung
Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di
Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan
puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di
kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian
Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.

Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau
menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol).
Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat
dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi,
dan lain-lainnya. Plato menetapkan bahwa letak Atlantis itu di Samudera
Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa bumi ini datar dan
dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.

Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi
secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di
kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen
Hawking.

Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil
itu berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung
berapi itu, menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera
sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi
tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar
biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua.
Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh
gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang
tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.

Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia,
tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai
bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang
katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos.
Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil
menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah
semena-mena ada peribahasa yang berkata, "Amicus Plato, sed magis amica
veritas." Artinya,"Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang
kepada kebenaran."

Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia.
Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia.
Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung,
Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari
gunung itu telah atau sedang aktif kembali.

Ketiga, soal semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya
tercampur air laut menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian
meresap ke dalam tanah di daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan
gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur
yang tidak bisa dilalui), atau in navigable (tidak dapat dilalui), tidak
bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan
remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim
kanalisasi di wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas
penyaluran semburan lumpur panas dari masa yang lampau.

Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris
Atlantis, tentu harus membuat kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri
di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah
pusat peradaban dunia. Namun sebagai wilayah yang rawan bencana,
sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari
sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk
dapat mengatasinya.***

Prof. Dr. H. PRIYATNA ABDURRASYID, Ph.D,
Penulis, Direktur Kehormatan International Institute of Space Law

(IISL), Paris-Prancis