Thursday, September 28, 2006

Lapindo Brantas: Sang Negosiator

Penanggulangan semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo dapat dikisahkan dari sisi yang unik: sepak terjang sang negosiator.
Lepas dari peran pat-gulipat, keberhasilan "meluluhkan" pejabat hingga level tertinggi tentulah bukan perkara yang semudah menghisap Djarum Black.
Awalnya: lumpur panas Tidak boleh dibuang ke Sungai Porong dan laut
Selanjutnya: Boleh saja dibuang ke laut asal dilakukan treathment yang diawasi ketat. Pengaliran lumpur menggunakan pipa.
Selanjutnya lagi: Silakan dibuang ke laut tanpa proses pengolahan apa pun.
Selanjutnya lagi dan lagi: Silakan buang ke laut melalui Sungai Porong
Dari sisi argumen, telah disiapkan kalimat-kalimat sakti semisal "force majeur", "pilih mana, melindungi ikan atau nyawa manusia?", "Lapindo telah mengeluarkan dana 1,5 triliun", "kawasan Porong adalah daerah rawan bencana-tidak layak ditinggali", "lumpur bermanfaat untuk reklamasi" bla-bla-bla...
Hmm... proses negosiasi memang untold story, setidaknya belum ada media yang mau berpeluh melakukan investigasi. Atau ada yang bisa berbagi cerita?

Wednesday, September 13, 2006

Aku miskin karena selembar STIKER

Mengapa orang keranjingan memasang stiker "fear factor" di pantat motor/mobil mereka ?
Mengapa juga orang berburu stiker berbentuk layang-layang bertuliskan "keluarga PM (Polisi Militer)" ?
Citra diri, itulah yang dikejar! Seolah dengan melekatkan stiker tersebut di bodi kendaraan, orang yang menonton akan menganggap si pengendara sama gagah-perkasanya dengan PM, saya nekatnya dengan kontestan Fear Factor. Aku yakin aku gagah. Aku yakin aku bernyali. Alam bawah sadar akhirnya terbius oleh citra yang dibangun lewat label berujud selembar stiker.
Lantas apa yang bakal terjadi atas saudara-saudara kita yang di pintu depan rumahnya dipasang stiker "keluarga miskin" (agar dapat dana kompensasi BBM) atau desanya diberi label "desa miskin" ?
Betapa ngerinya bila merekapun juga merasa nyaman dan terbius dengan citra diri yang terbangun lewat stiker berlabel miskin itu.
Betapa bakal repotnya para alim ulama, guru sekolah untuk mendongkrak kembali harga diri dan martabat masyarakat yang telah terstigma lewat label bikinan penguasa. Bukan perkara gampang mengajak mereka mengubah tangan di bawah (peminta) menjadi tangan di atas (pemberi).

anangyb

Tuesday, September 05, 2006

Satu dari Lima


Lega...
Satu dari lima buku cerita anak-anak telah selesai ditulis.
Masih tersisa empat lagi. Moga-moga sebulan ini kelar semua.
Bukan sekadar obsesi, tapi bikin dongeng sains-fiksi dengan aroma geografi bikin tidur tidak nyenyak.
Buku yang sudah kelar bercerita tentang gua karst; dongeng dibuat mirip kisah lima sekawan, gitu.
Buku kedua ngomongin GPS, alat anti sesat. Hari ini sudah dapet 10 halaman.
Ada yang mau nyumbang ide untuk buku ke tiga, empat dan ke lima ?