Monday, August 18, 2008

Jadi Pelacur Membuat Saya Lemas

Born of martial art, staff twirling has caught...Image via Wikipedia Ternyata niat untuk menjadi manusia sewajarnya tidak mudah terwujud di negeri ini. Ukuran "sewajarnya" bagi saya adalah tidak neko-neko meski juga tidak berarti berperilaku seturut arus warga negara lainnya.

Tulisan ini adalah tentang keluh kesah saya. Tentang kegagalan saya memegang teguh niat untuk berlaku bersih terutama dalam berprofesi. Ibarat seorang dukun beranak, saya telah meloloskan niat seorang ibu untuk menggugurkan kandungannya demi menghindari aib yang berkepanjangan!

Dunia konsultan survei pemetaan memang tak bisa selamanya pisah ranjang dari yang namanya akal bulus. Dunia pemetaan juga tak bisa selalu berasyik-masyuk sepanjang waktu dengan nilai-nilai idealis. Biarpun saya menolak sugesti bersyair "sopo ora edan oro kumanan" (siapa tidak gila, tidak bakal kebagian)namun desakan untuk selalu melakukan kompromi terhadap keinginan pembayar, rasanya susah juga untuk selalu dihindari.

Akhirnya, jebol juga pertahanan saya untuk tidak melacur: membuat laporan pekerjaan dengan adonan sesuai selera pemberi pekerjaan. Tentu saja peta yang saya buat tak lagi sesuai fakta di lapangan, tak lagi seusai dengan idealisme yang tercantum dalam latar belakang, tujuan, dan sasaran pekerjaan.

Lantas untuk apa saya musti menurunkan tim surveyor lengkap dengan 20 GPS di lapangan? tanya saya di depan dua puluhan pejabat-pejabat pemberi pekerjaan...

Apa gunanya juga hasil survei berhari-hari bila akhirnya kami musti memakai data sekunder yang kami tak tahu asal-usulnya? Tanya saya lagi.

Saya tahu, hadirin -walau diam- pasti menyangka saya terlalu hijau untuk urusan kong kalingkong. Saya juga sadar kalau kata-kata saya terlalu keras dan membuat pihak perusahaan yang mengontrak saya menjadi panas dingin. Takut tidak dibayar.

Akhirnya, penjelasan yang berbusa-busa pun meluncur dari pejabat pemberi pekerjaan. Saya tahu bahwa argumen mereka tak lebih dari cara mereka untuk membedaki wajah mereka yang sempat ternoda kata-kata saya.

Singkat kata, saya pun menyerah. Lemas tak berdaya. Jangan tanya bagaimana kronologisnya, ruang blog ini terlalu sempit untuk menjelaskannya. Yang pasti satu kebohongan baru perlu dibuat untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Jadi analoginya, Bila dua tahun lalu tertulis instansi x menganggarkan membagi seribu buku tulis, dan tahun lalu pemenang tender sudah melaporkan bahwa mereka telah sukses membagi seribu buku tulis, maka tahun ini, saya sebagai anggota tim evaluasi juga dituntut untuk menuliskan hal yang sama agar tak ada aib yang terbuka.

Jangan tanya ini proyek apa dan di instansi apa. Tak perlu juga menelisik posting saya terdahulu, sebab saya belum pernah menulis cerita tentang proyek ini.

Ambil saja sisi moralnya. Tak semua anak tangga yang kita titi bersih dari kotoran kerbau. Bila kau mampu melompatinya, syukurlah. Bila tidak, tak ada cara lain selain harus menginjaknya untuk mencapai titian yang lebih tinggi. Kecuali engkau memilih untuk berbalik arah!

original post by anang, yb

Reblog this post [with Zemanta]

1 comment:

Nandien said...

hmmmm,,,,benar banget kak. entah mengapa budaya seperti ini ada di negara kita. saat kita ingin membuat pembaharuan tapi tetap saja harus menyesuaikan dengan budaya lama. please deh, masa pada saat akan melakukan perubahan malah dibilang, "sudah jangan banyak berulah, ikuti saja draft sebelumnya," atau dengan kata-kata berikut, "diperiksa ya, tapi jangan terlalu banyak revisi karena itu sudah diperiksa oleh direktur.

tidak usah diperiksa atau direvisi aja ke saya saja kalo memang begitu :(